PENDAHULUAN
“...Pada
hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS.
Al-Maidah: 3)
Permasalahan
keagamaan telah dinyatakan menurut panduan ajarn ini. Selama masalah-masalah
pokok yang akan digunakan sebagai pedoman yang jelas diketahui, maka tidak
terdapat alasan untuk berselisih, bahkan hal tersebut tidak ada manfaat sama
sekali
Para imam mazhab mencurahkan kemampuan yang ada pada mereka untuk
memperkenalkan agama ini dan membimbing manusia kearah jalan yang haq. Pada
waktu yang sama, mereka melarang kaum muslimin bertaklid kepada mereka tanpa
mengetahui dalil atau alasannya, dengan mengatakan “Tidak seorangpun boleh
mengikuti pendapat kami tanpa mengetahui alasan kami dalam istimbath hukum.”
Mereka menegaskan bahwa mazhab mereka adalah hadis yang shahih karena
mereka tidak ingin pendapat mereka akan diikuti begitu saja seperti halnya yang
maksum. Maksud mereka hanyalah menolong manusia dalam memahami hukum-hukum
Allah.[1]
Mengenai persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, hal ini banyak
dibahas di dalam BAB Wudhu mengenai batal atau tidaknya wudhu. Maka dalam hal
ini kami selaku pemakalah akan membahas hukum persentuhan antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan berbagai madzhab.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Persentuhan Kulit
Para Fuqaha’ (ulama fiqh) menggunakan istilah: الّلمس terkadang
khusus dengan menggunakan tangan dan terkadang dengan menggunakan bagian
anggota badan selain tangan. Sedangkan:المسّ adalah
khusus menyentuh dengan tangan. Masing-masing dari keduanya mempunyai
ketentuan-ketentuan hukum tersendiri.
B.
Dalil-Dalil
yang berhubungan
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah:
6)
“Dari Ibrahim At-Taimi, dari
Aisyah, bahwasannya Nabi SAW pernah mencium salah seorang istrinya, kemudian
beliau shalat dan tidak berwudhu lebih dulu. (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)”
Abu Daud mengatakan, “Hadis ini mursal. Ibrahim At-Taimi
tidak mendengar langsung dari Aisyah RA.” An-Nasa’i mengatakan, “Tidak ada
hadis yang lebih baik daripada inidalam masalah ini, walaupun hadis ini
mursal.”[2]
Di shahihkan oleh Syaikh al-Albani.
Dari Aisyah,
ia mengatakan, “Aku tidur di depan Rasulullah (yang sedang shalat), dan
kedua kakiku pada kiblat beliau. Jika beliau handak bersuujud, beliau
menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku. Jika beliau telah
berdiri, aku meluruskan kedua kakiku.” (HR. Bukhari)
Dari Aisyah,
dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidur,
kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau
sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud” (HR. Muslim)
C.
Perbedaan pendapat para Ulama
Menyentuh seseorang yang dapat mengundang syahwat adalah membatalkan wudhu’.
Ada pula ulama yang mengatakan tidak membatalkan wudhu. Masing-masing
menjelaskan dengan beberapa syarat yang terinci dalam pendapat berbagai
madzhab.[3]
Syafi’iyah
Mereka berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram membatalkan wudhu
secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki-lakinya itu
lemah tua juga dan tidak menarik (berwajah jelek). Inilah yang menjadi
ketetapan dalam mazhab Syafi’iyah, apakah orang yang menyentuh itu sudah tua
ataupun masih muda.
Pendapat ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap bagian dari ayat yang
menjelaskan tentang hal-hal yang mewajibkan orang bersuci kembali sebelum
melaksanakan shalat: “...atau kamu melakukan persentuhan dengan perempuan”
(QS. An-Nisa’: 43). Mereka memahami kata “persentuhan” secara harfiah,
sehingga menganggap wudhu seorang batal setelah terjadinya persentuhan antara
kulit laki-laki dan perempuan.[4]
Mungkin juga dikatakan bahwa persoalan wanita tua yang sudah lemah dan
tidak menarik itu adalah tidak adanya rasa nikmat dengan menyentuhnya. Mereka
menjawab bahwa selama wanita itu masih hidup maka tidak akan hilang darinya
rasa nikmat dengan menyentuhnya. Dan sentuhan itu dapat membatalkan wudhu hanya
apabila antara kulit yang menyentuh dan kulit yang disentuh itu tidak ada batas
penghalang. Bagi mereka cukup dengan menggunakan batas penghalang yang tipis,
sekalipun penghalangnya itu hanya berupa kotoran dari debu yang bertumpuk,
bukan berupa air keringat.
Wudhu itu dapat bbatal dengan menyentuh mayat dan tidak batal dengan
menyentuh seorang wnita mahram, yaitu wanita yang haram dinikahi untuk
selama-lamanya karena ada hubungan nasab (keturunan) atau susuan atau karena
pernikahan.[5]
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa sekedar bersentuhan antara laki-laki
dengan wanita atau wanita menyentuh laki-laki sudah membatalkan wudhu, dengan
syarat tidak ada hubungan mahram antara keduanya. Menurut pendapat yang shahih
di pengikut madzhab Syafi’i, persentuhan antara mahram tidak membatalkan wudhu.[6]
Hanabilah
Mereka berpendapat bahwa wudhu itu dapat batal disebabkan menyentuh wanita
dengan syahwat tanpa ada suatu penghalang. Tidak ada perbedaan antara wanita
asing atau mahram, hidup atau mati, muda atau tua, besar ataupun kecil biasanya
dapat mengundang syahwat. Dalam hal itu laki-laki adalah sama dengan wanita,
sehingga apabila wanita itu menyentuh laki-laki maka batallah wudhunya dengan
syarat-syarat tersebut. Sentuhan itu tidaklah membatalkan wudhu kecuali apabila
sentuhan itu mengena sebagian dari anggota badan selain rambut, gigi dan kuku.
Menyentuh ketiga hal tersebut (rambut, gigi, dan kuku) tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan yang disentuh, maka wudhunya tidak batal walaupun ia merasakan
nikmat.
Dengan demikian kita ketahui bahwa hanabilah sependapat dengan Syafi’iyah,
bahwa menyentuh seorang wanita tanpa penghalang adalah membatalkan wudhu,
walaupun wanita itu adalah seorang wanita yang tua dan tidak berwajah menarik
selama ia masih dapat mengundang syahwat. Hanabilah berbeda dengan Syafi’iyah
tentang menyentuh mahram. Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu
membetalkan wudhu secara mutlak walaupun ia menyentuh ibu atau saudara
perempuannya sendiri.[7]
Malikiyah
Menyentuh wanita menarik secara seksual dengan syahwat dapat membatalkan
wudhu.[8]
Mereka berpendapat bahwa apabila seseorang yang mempunyai wudhu menyentuh orang
lain dengan tangannya atau sebagian dari badannya. Maka wudhunya itu batal
dengan beberapa syarat. Sebagian dari syarat-syarat itu untuk pihak yang
menyentuh dan sebagian lagi untuk pihak yang disentuh.
Bagi yang menyentuh disyaratkan hendaknya ia seorang yang baligh dan
bermaksud untuk merasakan kenikmatan, atau ia merasakannya tanpa sengaja.
Apabila ia bermaksud merasakan nikmat, maka wudhu’nya itu batal walaupun ia
belum betul-betul merasakan kenikmatan.
Bagi yang disentuh hendaknya ia dalam keadaan telanjang ataupun terhalang
dengan penghalang tipis. Jika penghalang itu tebal, maka wudhunya tidak batal,
kecuali bila sentuhannya itu dengan cara memegang sebagian anggota badan dan
bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan kenikmatan itu. Dan
hendaknya yang disentuh itu adalah orang yang biasanya mengundang syahwat.
Maka, wudhunya tidak batal dengan menyentuh wanita kecil yang tidak mengundang
syahwat, seperti gadis berusia lima tahun. Dan tidak pula menyentuh wanita tua
yang laki-laki tidak butuh lagi padanya, karena nafsu (syahwat) telah pudar
darinya.
Hanafiyah
Menyentuh wanita secara mutlak (baik dengan syahwat atau tidak) tidak
membatalkan wudhu. Diantara dalil mereka adalah hadis dari Aisyah yang
berposisi melintang di depan Rasulullah saat beliau menunaikan shalat. Kemudian
beliau meraba kedua kaki Aisyah RA, dan terus melanjutkan shalanya.[9]
Tetapi bukan berarti menyentuh wanita yang bukan mahram itu boleh. Ini
permasalahan yang berbeda. Hukum menyentuh wanita yang bukan mahramnya adalah
haram.[10]
Sebagaimana sabda Nabi:
لأَنْ
يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ، خَيْرٌلَهُ مِنْ أَنْ
يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلَّ لَهُ
Artinya: “Sungguh kepala seseorang diantara kalian ditusuk dengan jarum
dari besi, maka demikian itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang
tidak halal baginya” (HR. Thabrani)
KESIMPULAN
Laki-laki menyentuh perempuan dalam masalah ini ada tiga pendapat
dikalangan para ulama
Pertama, lelaki menyentuh
perempuan secara mutlak membatalkan wudhu, ini adalah pendapat Syafi’i yang
disepakati oleh Ibnu Hazm dan merupakan perkataan Ibnu Mas’ud serta Ibnu Umar.
Kedua, tidak membatalkna
wuudhu secara mutlak, menurut madzhab Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani,
dan merupakan perkataan Ibnu Abbas, Thawus, Al Hasan, Atha’ dan bipilih oleh
Ibnu Taimiyah, inilah pendapat yangg kuat.
Ketiga, Menyentuh
perempuan dapat membatalkan wudhu jika dibarengi syahwat, ini adalah pendapat
Malik dan Ahmad pada riwayat yang masyhur darinya.
Pijakan dasar pendapat yang mengatakan batal wudhu karena menyentuh
perempuan adalah firman Allah, “atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak
memperoleh air, bertayamumlah” (QS. Al Maidah: 6). Dari Ibnu Mas’ud dan
Ibnu Umar menafsirkan ayat ini bahwa menyentuh disini selain jimak.
Ibnu Abbas tidak sejalan dengan pendapat ini, dia berkata, kata al mass,
al-lams, al mubasyarah bermakna jimak, akan tetapi Allah memberi julukan
nama dengan apa yang Dia kehendaki.[11]
Sebagai peringatan perbedaan pendapat seperti ini tidak
boleh dijadikan alasan saling membenci, menjauhi, dan memusuhi. Karena
perselisihan ini sudah ada semenjak zaman Sahabat dan mereka tetap bersatu,
maka kita juga harus demikian.
No comments:
Post a Comment