PENDAHULUAN
Di
era yang serba modern sekarang, dan semakin pesatnya perkembangan teknologi.
Mulai dari kemajuan dibidang teknologi, transportasi, sampai komunikasi.
Semakin kompleks pula masalah yang dihadapi oleh manusia. Apalagi kita sebagai
bangsa Indonesia yang notebennya hidup pada masyarakat yang multikultural dan
heterogen. Adanya krisis (moneter, kepercayaan dan keimanan) yang melanda
bangsa Indonesia dewasa ini, menuntut bangsa Indonesia untuk meningkatkan
persatuan dan kesatuan. Diantara usaha-usaha yang dilakukan adalah dengan
mengadakan do’a bersama antar umat beragama.
Doa bersama lintas agama pada moment-moment tertentu kini
tampaknya mulai menjadi tren saja dengan dalil sebagai bentuk solidaritas atas
sesama. Berbagai pihak tampak bangga melaksanakan praktek ibadah yang pernah
dikatakan Hamka sebagai upaya menyuburkan kemunafikan. Orang-orang yang
melakukan praktek doa bersama antar umat beragama seolah-olah menganggap ibadah
yang mereka lakukan merupakan alat ampuh untuk mengatasi krisis yang sedang
melanda di negeri ini, perpecahan, kehancuran dan sebagainya. Karenanya
berbagai tokoh agama dan masyarakat terlihat antusias melaksanakan praktek
ibadah sinkretis tersebut.
Oleh karena itu
dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang hukum doa bersama antar umat
beragama.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Doa
Doa kata (arab du’a) dalam Islam adalah “ seruan,
permintaan, dan permohonan pertolongan, dan ibadah kepada Allah supaya
terhindar dari bahaya mendapatkan manfaat.
Adapun lafadz doa yang ada dalam
al-qur’an bisa bermakna sebagai berikut:
1.
Ibadah
Seperti firman Allah (QS. Yunus: 106):
Artinya: ”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang
tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah;
sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau
begitu termasuk orang-orang yang zalim".
2. Perkataan atau keluhan
Firman Allah: (QS. Al-Anbiya’:15)
Artinya: ”Maka tetaplah demikian keluhan
mereka, sehingga kami jadikan mereka sebagai tanaman yang Telah dituai, yang
tidak dapat hidup lagi.”
3.
Panggilan atau
seruan
Allah berfirman:
Artinya: ”Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan
orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli
dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang.” (QS.
Ar-Rum: 52)
4. Meminta pertolongan
Allah berfirman:
bÎ)ur
öNçFZà2
Îû
5=÷u
$£JÏiB
$uZø9¨tR
4n?tã
$tRÏö7tã
(#qè?ù'sù
;ouqÝ¡Î/
`ÏiB
¾Ï&Î#÷VÏiB
(#qãã÷$#ur
Nä.uä!#yygä©
`ÏiB
Èbrß
«!$#
cÎ)
öNçFZä.
tûüÏ%Ï»|¹
ÇËÌÈ
Artinya: ”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang
kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang
semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Adapun Hadis yang diriwayatkan oleh
Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda:
لَيْسَ
شَيْئٌ اَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
Tidak satupun yang lebih dihargai oleh Allah daripada Doa.
Berdoa atau memohon doa kepada Allah merupakan inti dari
ibadah. Umat Islam tidak pandang derajat dan pangkat, semua diperintahkan
supaya banyak-banyak berdoa kepada Allah baik siang dan malam. Orang yang
sedang berdoa seolah-olah sedang berbicara dengan Tuhan, dengan memakai
kata-kata yang sopan, yang merendah, sebagaimana keadaan orang-orang yang
miskin meminta kepada orang-orang yang kaya.
Kedudukan doa sangat tinggi dalam ibadah Islam. Orang yang
tidak mau berdoa adalah orang yang sombong, yang menganggap dirinya lebih
tinggi, lebih pandai, dan lebih kaya daripada Tuhan. Maka dari itu, berdoa
dengan khusyuk dan tawadhuk sangat dianjurkan oleh agama Islam.
B.
Hukum Doa Bersama Non Muslim
Doa bersama antar umat beragama adalah
berdoa yang dilakukan secara bersama-sama antar umat islam dan umat non islam
dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan pada waktu dan tempat
yang sama baik dalam satu atau beberapa orang yang berdoa sedangkan yang lain
mengamini menurut agama masing.[1]
Doa bukan hanya milik Islam, tetapi juga milik agama-agama
lain. Dapat dikatakan bahwa doa adalah fenomena umum yang ditemukan dalam semua
agama doa adalah salah satu segi utama kehidupan keagamaan umat manusia.
Friederich Heiler (1892-1967), seorang fenomenolog agama terkemuka kelahiran
Jerman, mengatakan bahwa “orang-orang beragama, para pengkaji agama, para
teolog semua kepercayaan dan kecenderungan, sepakat dalam berpendapat bahwa doa
adalah fenomena utama seluruh agama, jantung seluruh kesalehan” dan karena alasan
ini tidak bisa diragukan sama sekali bahwa doa adalah jantung dan pusat seluruh
agama.
Mengenai hal yang memimpin doa bersama adalah seorang
muslim dan doa yang dibaca tidak bertentangan dengan ajaran Islam, doa bersama
jenis ini dibolehkan. Apabila yang memimpin doa adalah orang muslim atau non
muslim maka boleh, karena doa yang dibaca adalah satu yang dibaca untuk semua
peserta. Karena itu, doa bersama seperti ini yang dipimpin seorang non muslim
dibolehkan. Apalagi doa jenis ini bertujuan untuk kemaslahatan seperti
kedamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas, maka ia dibolehkan, bahkan
bisa meningkat menjadi dianjurkan.[2]
Orang Kafir dan orang Islam telah
berdoa bersama, tidak hanya dalam arti bahwa mereka disatukan dalam
persahabatan mereka dengan Tuhan, tetapi juga dalam komitmen mereka bersama
melawan kemutlakan-kemutlakan palsu dimasa sekarang dan melawan ketidak adilan
yang mereka timbulkan dalam kehidupan manusia. jika tidak ada komitmen pada hal
ini, meski berdoa bersama, dalam arti harfiahnya, maka tak akan ada gunanya.
Orang Islam dan Kafir datang bersama, dalam keyakinan dan
harapan, dalam pemahaman dan doa, dan melibatkan diri mereka sendiri untuk
mengucapkan puji tuhan dan mencari landasan kesatuan dan kedamaian.
Ketika kita bertemu disini, sebagai orang Kafir dan muslim
kita harap tercapai dengan segala kerendahan hati pada orang lain dan keyakinan
dengan kepercayaan bahwa tuhan kita adalah Tuhan mereka juga.[3]
Dan
tidak boleh mengamini doa orang kafir karena doanya tidak diterima sesuai
dengan firman Allah SWT.: “dan doa (ibadah ) orang-orang kafir itu,
hanyalah sia-sia belaka.” (al-ra’d: 14). Ada pendapat lain yang
membolehkan mengamini do’a orang kafir dengan catatan bukan doa untuk
pengampunan dosanya hal tersebut merupakan larangan dalam islam.
Haram mencintai orang kafir, yakni adanya rasa suka dan
kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan cuma sekedar bergaul secara lahir saja,
maka hukumnya makruh. Adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya
sesuatu madharat yang tidak di inginkan yang mungkin dilakukan oleh mereka,
ataupun mengambil sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak
haram.
Orang kafir dzimmi (yang keamanan dirinya dan hartanya dalam
naungan jaminan pemerintah islam) karena mereka berhak mencari rezeki.
Sedangkan rezeki Allah SWT. itu sangat luas. Terkadang Allah SWT. mengabulkan
harapan mereka sebagai bentuk istidraj dan ketamakan di dunia.[4]
Kafir dzimmi tersebut dan orang kafir lainnya tidak
diperbolehkan untuk bercampur dengan kita di tempat peribadatan kita, demikian
halnya ketika berkumpul. Percampuran tersebut makruh, dan mereka harus berbeda
dengan kita umat Islam ketika berada dalam suatu tempat. Hal ini, karena mereka
adalah musuh-musuh Allah SWT., yang suatu saat mereka akan ditimpa suatu adzab
dengan kekufuran mereka itu, dan adzab tersebut akan mengenai kita pula.
Tidak boleh mengamini doa mereka sebagaimana pendapat yang
dianut oleh Imam al-Rauyani, karena doa mereka tidak akan diterima. Sebagian
ulama ada yang berpendapat, bahwa doa mereka bisa saja dikabulkan sebagaimana
dikabulkannya doa iblis agar menunda (adzab menggoda manusia) sampai hari
kiamat.
Dalam berbagai madzhab ulama’ perihal
ikut berkumpulnya kafir dzimmi dalam kegiatan salat meminta hujan, bahwa
madzhab kami menyatakan mereka itu dilarang untuk ikut berkumpul bercampur
dengan orang-orang Islam. Namun
jika mereka dibedakan maka tidak dilarang. Pendapat ini dianut oleh imam Zuhri,
Ibnu al-Mubarak, abu Hanifah dan Makhul.[5]
Tentang ikut berkumpulnya orang kafir dalam kegiatan salat
meminta hujan mengingat mereka adalah musuh-musuh Allah SWt., maka tidak
diperkenankan untuk bertawasul dengan mereka. Jika mereka ikut hadir dan
keberadaan mereka berbeda dengan umat Islam, maka mereka tidak perlu dilarang
karena mereka datang untuk mencari rezeki.
Menurut
salah satu pendapat, boleh mengamini doa orang kafir, bahkan sunnah jika
misalnya ia berdoa agar dirinya mendapatkan hidayah dan kita mendapatkan
pertolongan.
C.
Hukum Mengucapkan Selamat Natal dan
Mengikutii Perayaannya
1.
Pendapat yang memperbolehkan
yãN»n=¡¡9$#ur ¥n?tã tPöqt N$Î!ãr tPöqtur ÝVqãBr& tPöqtur ß]yèö/é& $|ym ÇÌÌÈ
Artinya : Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku,
pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku
dibangkitkan hidup kembali". (Q. S)
Berdasarkan dalil di atas, mengucapkan
salam/mengikuti perayaan natal adalah boleh. Karena Al-Qur’anpun telah
mengajarkan untuk mengucapkan salam kepada Nabi Isa as. Selain itu juga
pengucapan salam tidak hanya ditujukan pada Nabi Isa as, kepada nabi-nabi
laipnpun Al-Qur’an mengjarakna untuk mencapaikan salam seperti nabi Ibrahim as.
Hal ini disamakan dengan kebolehan kita untuk mengucapkan shalawat yang
ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu pula Nabipun merayakan
keselamatan Nabi Musa dari kejahatan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyu’ara, seraya
besabda “kita lebih wajar merayakanyadaripada orang Yahudi pengikut Musa a.
s.”[6]
2.
Pendapat yang
melarang
Agama sebelum negara, menuntut agar
kerukunan umat dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa pula bila kesucian
akidah ternodai oleh atau atas nama kerukunan.
Natalan walaupun berkaitan dengan Isa
Al-Masih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kafir yang
pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan
“Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalah pahaman
dapat mengantarkan pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakun akan
ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan
akidah islam.
Diriwayatkan oleh Abu Ya’la secara marfu’ dari hadis Ibnu
Mas’ud:
غَيِّرُوْا
هَذَا الشَّيْبَ، وَ لاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ
Artinya: “Barangsiapa yang ridha
akan amalan suatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka.”
Didalam hadis
ini disebutkan bahwa barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka mereka itu
termasuk kedalam golongan kaum tersebut. Karena itu barangsiapa diantara kaum
muslim yang meniru kaum kafir terhadap perkara-perkara yang nampak akan
mendorong mereka untuk menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang sifatnya
batin. [7]
DAFTAR
PUSTAKA
Aksari, Hasan, Lintas Iman
Dialog Spiritual, diTer. Sunarwoto, Yogyakarta: LKIS, 2003, Cet. 1
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul
Maram, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid 7
Madjid, Nurcholish, dkk., Fiqh
Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina,
2004
Mahfudh, Sahal, Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, diTerj. Djamaliddin Miri, Surabaya: Lajnah
Ta’lif wan Nasyr NU, 2007, Cet. 3
Tsabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 4,
diTrej. Mahyuddin Syaf, Bandung: PT. Almaarif, 1978, Cet. 1,
Saleh, Hassan, Kajian Fiqh
Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:
Mizan, 2009), cet. Ke-3
No comments:
Post a Comment