PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dikalangan ulama ummat manusia Islam tidak ada
perselisihan pendapat mengenai, bahwasannya sumber hukum isyar’iyyah bagi
seluruh perbuatan orang-orang mukallaf adalah Allah SWT., baik hukumnya
mengenai perbuatan mukallaf itu telah Dia wahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Dia
memberi petunjuk kepada para mujtahid untuk mengetahui hukumnya pada perbuatan mukallaf dengan
perantara dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyari’atkan untuuk
mengisthimbatkan hukum-hukumnya. Oleh karena inilah ada kesepakatan hukum-hukumnya.
Oleh karena inilah, ada kesepakatan kata di antara mereka mengenai definisi
hukum syara’ sebagai “Khithab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
berupa tuntutan, atau suruhan memilih, atau ketetapan”.[1]
Di antara prinsip mereka yang terkenal:
لاَ
حُكْمُ اِ لآَ لِلّٰه
Artinya: “ Tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. :
Artinya: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang
Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".
Dalam pembahasan
tentang hukum-hukum
Syar’iyyah, terdapat pembahasan tentang hukum dalam ilmu Ushul fiqh ada empat,
yaitu:
1.
Hakim :
Orang yang mengeluarkan hukum.
2.
Hukum :
Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
3.
Mahkum Fih :
Perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum.
4.
Mahkum ‘Alaihi :
Mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan hukum.
B.
Batasan Masalah
Kami selaku
pemakalah akan membatasi pembahasan ini:
1. Siapakah Hakim?
2. Dengan apakah
hukumnya diketahui?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hakim
وَ
اضِعُ الْأَ حْكَامِ وَ مُثْبِتُهاَ وَ مُنْشِئُهاَ وَ مَسْدَرُهاَ
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
اَلَّذِي يُدْرِكُ اْلاَحْكاَمِ وَ يُظْهِرُهاَ وَ يُعْرِفُهاَ وَ ىُكْشِفُ
عَنْهاَ
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.
Pengertian pertama, Hakim adalah Allah SWT. Dia lah pembuat hukum
dan satu-satunya sumber hukum yang yang dititahkan kepada seluruh mukallaf.
Oleh sebab itu, tidak ada syari’at dalam islam kecuali dari Allah SWT., baik
berkaitan dengan hukum-hukum taklifi (wajib, sunnah, haram, makruh dan
mubah) maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’i (sebab, syarat,
halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhshah). Semua
hukum ini, menurut kesepakatan para ulama, bersumber dari Allah. Dengan
demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah SWT.
Sedangkan pengertian kedua tentang hakim, ulama Ushul Fiqh
membedakannya sebagai berikut[3]:
1.
Sebelum Muhammad SAW. Diangkat sebagai Rasul
Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang siapa yang
menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad
sebagai Rasul. Sebagian ulama ushul Fiqh dari golongan Ahlussunnah wal Jamaah
berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara
akal tidak dapat mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT. dan yang
menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim
pada saat Nabi Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun
akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT. Dan menyingkap
serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’.
Di kalangan para ulama Ushul Fiqh, persoalan yang cukup
rumit tersebut dikenal dengan istilah “At-tahsin wa al-taqbih”, yakni
pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.
2.
Setelah Diangkatnya Muhammad Sebagai Rasul dan
Menyebarnya dakwah Islam
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah syariat
yang turun dari Allah SWT. Yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah
dihalalkan oleh Allah hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkannya
hukumnya haram. Juga disepakati bahwa apa-apa yang dihalalkan itu disebut hasan
(baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala
sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk), yang di dalamnya
terdapat kemudharatan atau kerusakan bagi manusia.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul
fiqh tentang hasan dan qabih, yaitu:
a.
Al-Husnu
adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia. Sedangkan qabih
adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia.
b.
Al-Husnu,
diartikan sebagai sifat yang sempurna. Sebaliknya, qabih diartikan
sebagai sifat jelek, yakni kekurangan pada diri sendiri seseorang. Kedua
pengertian tentang hasan dan qabih tersebut telah disepakati oleh para ulama
bahwa hal itu hanya bisa dicapai dengan akal.
c.
Al-Husnu,
adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih, merupakan
segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Hal ini disepakati
oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
d.
Al-Husnu,
diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia
dan pahala dari Allah SWT. Kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan
yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan.
B.
Cara Mengetahui Hukum
Terdapat perbedaan di antara ulama, mengenai hukum-hukum
Allah yang bisa diketahui oleh akal manusia tanpa melalui Rasul dan
kitab-kitab- Nya atau hukum-hukum Allah tidak bisa diketahui kecuali melalui
Rasul dan Kitab-kitab-Nya.
Dalam pebedaan pendapat ini terdapat tiga mazhab di
kalangan para ulama[4]:
Pertama,
Mazhab Al-Asy’ariyah dengan tokohnya Abu Hasan Al-Asy’ariy, ia berpendapat
bahwa hukum-hukum Allah tidak bisa diketahui dengan semata-mata menggunakan
akal, tetapi hukum-hukum Allah baru diketahui melalui Rasulnya dan
kitab-kitabnya. Karena akal manusia berbeda-beda di dalam kemampuannya dan
sering berubah-ubah tentang penilaiannya terhadap baik dan buruk serta tidak
jarang akal manusia dipengaruhi hawa nafsunya.
Segala perbuatan manusia atau kelompok manusia yang belum
sampai kepadanya da’wah tidaklah mendapat pahala dan tidaklah berdosa. Pendapat
ini dikuatkan oleh firman Allah:
Artinya: “dan
kami tidak akan meng'azab sebelum kami mengutus seorang rasul.”
Kedua,
Mazhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin ‘Atha’. Pendapat mazhab ini
ialah bahwasannya akal dapat mengetahui hukum Allah tentang perbuatan-perbuatan
mukallaf dengan sendirinya tanpa perantara Rasul dan Kitab-kitab-Nya. Karena
perbuatan mukallaf itu mempunyai sifat dan pengaruh yang biisa menjadikannya
sebagai sesuatu yang berbahaya atau sesuatu yang bermanfaat. Oleh karena itu,
berdasarkan sifat-sifat perbuatan, dan manfaat atau bahaya yang diakibatkannya,
maka akal dapat menetapkan bahwa ia baik atau buruk.[5]
Dasar
mazhab ini adalah bahwasannya perbuatan yang baik adalah sesuatu yang dipandang
baik oleh akal, karena ia mengandung manfaat. Sedangkan sesuatu yang buruk akan
menimbulkan bahaya. Sesungguhnya hukum Allah mengenai perbuatan-perbuatan
mukallaf adalah sesuai dengan kebaikan dan keburukan sesuatu yang terjangkau
oleh akal mereka. Menurut mazhab ini, barang siapa yang dakwah para Rasul
maupun syariat-syariat mereka tidak sampai kepada mereka, maka mereka dibebani
Allah untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh akal mereka, bahwa hal itu
baik, dan mereka diberi pahala oleh Allah karena mengerjakannya, serta dibebani
oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu yang menurut akal mereka buruk, dan
mereka akan diberi siksaan oleh Allah karena mengerjakannya.
Ketiga,
Mazhab
Maturidiyyah, yaitu pengikut Abu Manshur Al-Matuuridi. Mazhab ini berpendapat
bahwa perbuatan-perbuatan mukallaf mengandung berbagai kekhususan dan mempunyai
pengaruh-pengaruh yang menghendaki kebaikan atau keburukan, jadi akal mampu
menghukumi suatu perbuata. Akan tetapi hukum-hukum Allah tidak harus sejalan
dengan apa yang dianggap baik oleh akal. Berdasarkan hal ini tidak ada jalan
untuk menentukan hukum Allah kecuali dengan perantara Rasul-Nya.
Mereka
berpendapat bahwa jika syariat rasul belum sampai kepada mereka maka perbedaan
pendapat itu tidak berpengaruh. Sedangkan, jika syariat Rasul telah sampai pada
mereka, maka ukuran baik dan buruknya adalah apa yang telah ditentuka oleh
syariat bukan sesuatu yang tertangkap oleh akal.
KESIMPULAN
Hakim
adalah orang yang menetapkan dan mengeluarkan sumber hukum. Perbedaan pendapat
tentang menentukan hakim ketika Allah belum mengutus seorang Rasul. Ahlusunnah
wal Jama’ah berpendapat sebelum rasul diutus maka Allah lah yang menjadi hakim.
Sebaliknya, Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum Rasul diutus akal sudah dapat
memutuskan suatu hukum. Para ulama sepakat bahwasannya setelah Rasul diutus
oleh Allah, maka hukum harus sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Rasul.
Cara-cara
untuk menentukan sebuah hukum terbagi 3 mazhab yang berbeda pendapat, yaitu:
1.
Mazhab
Asy’ariyyah, berpendapat bahwa akal tidak mampu untuk menentukan hukum. Jadi
hanya syariat yang datang dari Allah lah yang dapat dijadikan hukum.
2.
Mazhab
Mu’tazilah, berpendapat bahwasannya akal telah mampu untuk menentukan hukum
sebelum syariat itu datang, dan setelah syariat itu datang maka akal pulalah
yang digunakan. Karna menurut mereka hukum syariat dan hukum yang ditentukan
oleh akal itu sama. Apa yang menurut akal baik maka baik pula untuk syariat,
begitupun sebaliknya.
3.
Mazhab
Maturidiyyah, berpendapat bahwasannya akal mampu untuk menentukan hukum,
akantetapi ada keterbatasan akal dalam menentukan hukum. Menurut mereka apa
yang dianggap baik oleh akal belum tentu baik didalam syariat. Jadi jika
syariat sudah sampai kepada mereka, mmaka mereka akan menggunakan syariat
sebagai landasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli,
Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2000
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu,
1997
Khallaf,
Abdul
Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994
Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia,
2010,
[1]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama), 1994, hlm. 137
[2]
DR. H. Nasrun Haroen, M.A., Ushul
Fiqh, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu), 1997, cet ke-2, hlm 285
[3]
Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu
Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia), 2010, cet ke-4, hlm 348-349
[4]
Prof. Drs. H.A. Djazuli, Ushul
Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2000, cet
ke-1, hlm 75-80
[5]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama),
1994, hlm 139
No comments:
Post a Comment